Rabu, Mei 20, 2009

Faktor Mistis Bernama Barokah

Oleh: M.Faizi

Dalam sistem pendidikan pesantren, banyak hal yang—dalam sementara pandangan orang yang tidak mengalaminya secara langsung—tampak mustahil dan tidak masuk akal, sebut saja satu bagiannya: barokah!

Salah satu butir dalam model pembelajaran baru adalah sistem rolling, alias tukar tempat. Suatu waktu, di sebuah workshop yang saya ikuti di lembaga tempat saya mengajar, pemateri workshop memberikan contoh sistem rolling ini untuk menghindari kebosanan siswa dalam belajar, dan agar pula ada pemerataan informasi: bangku dalam ruang kelas dibuat melingkar atau tempat duduk siswa saling ditukar. Tetapi, betapa kaget pemateri tersebut manakala salah seorang peserta workshop (guru) menolaknya karena hal itu, menurutnya, bertentangan dengan Ta’limul Muta’allim yang antara lain menuntut seorang murid (pencari ilmu) supaya anteng/tidak berpindah-pindah tempat. Sikap anteng ini merupakan salah satu bagian dari istiqamah (kedisiplinan) yang pada akhirnya akan menentukan pula pada efek barokah. Sebab, dengan istiqamah, seorang pencari ilmu akan lebih mudah mendapat barokah.

Dalam pandangan masyarakat, akhlak yang baik merupakan tujuan seorang santri menuju pemuncak penjelajahan spiritualnya. Jadi, puncak itu tidak terletak pada kapasitas atau prestasi intelektualnya. Dengan akhlak yang baik, niat yang tulus, barokah akan lebih mudah diraih. Pada intinya, mengharapkan barokah merupakan keyakinan adanya faktor mistis bagi pencari ilmu: bahwa tugas seorang santri adalah “mencari tahu”, bukan “harus tahu”. Tugas santri adalah niat yang ikhlas; soal ganjaran itu urusan Allah yang akan membalas.

Dalam tradisi pesantren, barokah begitu sakral dan misterius. Ia adalah misteri ilahiah yang—demi kesakralannya—terkadang dibiarkan “tidak dirasionalisasi”. Meskipun, dengan analogi hukum sebab-akibat, nyatanya barokah tetap rasional: bahwa kebaikan selalui dibalas dengan kebaikan. Hanya saja, balasannya mungkin tidak sama, bahkan mungkin lebih besar.

Umumnya, kaum santri memahami barokah sebagai khairun ilahiyyun la ya’lamuhu illallah (kebaikan ilahiah—dengan motif transendental—yang tidak diketahui oleh siapa pun melainkan Allah semata), atau diringkas menjadi ziyadatul khair alias “bonus” kebaikan, sejenis doorprize yang diberikan Allah melalui perbuatan, orang, ataupun tindak-tanduk, yang didapat seseorang karena ia telah melakukan suatu amal kebajikan/kebaikan, apa pun bentuknya. Walaupun, di mata sekuler, barokah bisa saja dianggap keberuntungan (hoki) dan di mata masyarakat awam barangkali hanya sebagai tuah.

Berdasarkan cerita-cerita, tampaknya barokah memiliki satu kata kunci lagi: “ikhlas”. Misalnya, kisah seorang santri yang sepanjang masa kesantriannya hanya mengabdi menjadi pelayan kiai, baik itu sebagai pendamping di kala bepergian, sebagai khadam, atau bahkan gembala ternaknya. Banyak cerita yang berlatar kisah semacam itu. Misalnya, sebut saja Najmuddin, yang sepanjang hidupnya hanya menjadi pelayan dapur Kiai Musyaffak. Ketika pulang ke desanya, Najmuddin didaulat masyarakat kampung menjadi kiai di desa. Santri pun berduyun memohon agar dia meneroka tanah baru dan membuka kampung persantrian yang baru. Bahkan, terkadang, masyarakat menyediakan tanah sekaligus bangunannya untuk dihuni.

Sialnya, bagi beberapa orang, barokah justru dicitrakan buruk dengan dijadikan temeng/dalih dan “tempat pelarian yang aman”. Misalnya, jika ada seorang santri yang “berdarah biru” (memiliki trah/keturunan kiai) yang berhasil dalam intelektualitasnya, masyarakat awam dengan mudah menganggapnya “sudah dari sono”-nya. Misalnya, kisah Kiai Muzammil di Jember yang astronom. Dengan latar belakang pendidikan salaf (seratus persen pendidikan agama), Kiai Muzammil ternyata dapat membuat teropong bintang. Tetapi, kerap dilupakan bahwa bahwa Kiai Muzammil sebetulnya juga memiliki dasar ketertarikan pada astronomi serta selera sains yang kuat. Dengan mempelajarinya secara otodidak, lalu mampu, sejatinya Kiai Muzammil memperoleh semua itu bukan dengan tanpa susah.

Jika disederhanakan, barokah merupakan “buah kebaikan”, sejenis sebab-akibat, atau bentuk altruisme dalam lain hal, plus satu catatan lagi: semua kebaikan yang diproduksinya itu berasal dari “ketulusan dalam pengabdian”. Seseorang yang berbuat kebaikan, akan diganjar dengan kebaikan yang lain. Prinsip ini sebetulnya merupakan slogan populer yang diketahui bersama. Tetapi, nilai pengabdian inilah yang terasa berat. Sebab, secara kasar, ia berarti rodi: bekerja tanpa dibayar meskipun sebetulnya bayarannya akan dikembalikan nanti di kemudian hari.

Di banyak pesantren, terutama pesantren salafi, ada hapalan Alfiyah Ibnu Malik (pelajaran tata bahasa Arab; berupa larik-larik pelajaran bergenre puisi). Materi ini dianggap sulit karena dua hal: karena pemahamannya juga karena harus dihapal, 1000 larik jumlahnya. Bagi banyak santri, pemahaman menjadi prioritas nomor sekian karena yang terpenting adalah barokah kitab/muallif-nya (pengarangnya). Tidak heran jika muncul slogan: iso gak iso sing penting barokah! Mau ngerti atau tidak, terserah! Yang penting barokah.

Keinginan yang besar terhadap barokah kerap kali ditempuh para santri melalui berbagai cara dan laku yang berat sekali. Antara lain tirakat dan riyadah batiniah (ritual batin). Semua itu dilakukan seorang santri demi kematangan pribadi yang pada akhirnya—dengan banyak bukti yang tidak dapat disebut satu per satu di sini—berhasil. Mereka mendapatkan “doorprize dari Tuhan” yang menakjubkan: barokah!

Tirakat dan riyadah yang berat ada kalanya menghasikan figur santri yang bukan saja berkompeten, melainkan multitalent, bahkan polymath. Merekalah yang beruntung mendapatkan “ilmu ladunni”, yaitu peringkat tertinggi dalam proses pencarian ilmu seorang santri (murid). Dengan ladunni ini, ia menjadi seorang ilmuwan. Bagai sebuah keajaiban, ia tahu segala hal, terutama hal-hal yang berikaitan dengan ilmu-ilmu agama.

Seperti diungkapkan dalam bait puisi Alfiyah yang populer di pesantren, wa fi ladunni ladunni qalla wa fi / qadni wa qathni al-hadzfu aydhan qad yafi, “Sebetulnya ilmu ladunni bukan suatu hal yang mustahil, hanya saja ia jarang ditemukan”. Prinsipnya, setiap manusia punya potensi ilmu pengetahuan, atau dapat menyerap ilmu yang dipelajarinya secara maksimal. Bayangkan, jika sekali baca atau sekali dengar semua orang dapat paham. Betapa dapat dengan seorang murid akan menjadi pandai? Nah, dalam konsep ladunni, sejatinya kita bisa dapat sedemikian itu. Namun, karena selubung yang menyelimuti hati, tidak mudah bagi seseorang dengan mudah untuk paham. Maka, berkat doa dan kerja keras serta kebaikan, dapatlah kita barokah, dan ia akan turut menguak selubung itu perlahan-lahan.

Secara metaforis, barokah dapat dimiliki dan ditularkan oleh selain Allah. Tetapi, secara literal barokah tetaplah milik Allah yang diberikan “melalui” orang/perbuatan baik. Karena seorang kiai memiliki “pangkat” yang lebih tinggi di mata Allah, juga karena doa-doanya karena kiai dianggap lebih dekat dengan Dzat Yang Maha Mengetahui, maka setiap santri berharap mendapat barokah melalui bakti dan mengaji kepada kiai.

Akan tetapi sebaliknya, jika ada santri yang tidak mengindahkan atau kerap melanggar perintah seorang kiai, maka hatinya akan semakin terselubungi. Dengan demikian, semakin teballah tirai yang menutupi. Jika barokah diumpamakan sebagai cahaya, ia tak dapat menembus hati seorang pencari ilmu yang hatinya telah terselubungi semacam ini. Bahkan, ia hanya mendapatkan tulah (imbalan keburukan) dari perbuatannya, lebih-lebih kelak ketika ia telah pulang ke masyarakatnya.

Sumber :
  • M.Faizi
  • Tidak ada komentar: